Selasa, 29 Desember 2015

Jika Wanita Terpaksa Bekerja, Maka...

Loading...
Wanita dizaman sekarang bukan hal yang aneh jika mereka bekerja diluar rumah. Bukan masalah emansipasi, akan tetapi jika wanita itu punya ilmu, kemampuan dan ketrampilan  yang bisa diakutualisasikan dalam kehidupan dan bisa membantu orang banyak sama baiknya dengan lelaki, mengapa tidak. Apalagi perintah Rasulullah untuk mencari ilmu bukan bersifat gender semata, lelaki dan wanita jika mampu diharapkan mencari ilmu yang setinggi-tingginya agar menjadi umat yang kualitas  tidak tertinggal dengan umat lain, hingga tidak mudah untuk dikendalikan oleh bangsa dan umat lain.
Jika wanita yang punya talenta istimewa, cerdas juga terampil  tidak boleh untuk mengeksplorasikan dirinya untuk kemaslahatan, tentu ini bukan keadilan untuknya dan malah kemunduran untuk kejayaan Islam. Namun sebagai muslimah mempunyai beberapa adab yang harus dilaksanakan, jika wanita terpaksa bekerja, maka harus mematuhi hal-hal berikut ini:
1. Niatkan  lurus untuk bekerja. Wanita yang bekerja harus mempunyai niat lurus untuk apa sebenarnya keputusan bekerja di dalam, apalagi di luar rumah.  Jika diniatkan guna mencukupi kebutuhan keluarganya dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan sarana untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, maka niat bekerjanya  merupakan ibadah dan dianggap berjihad di jalan Allah. 
“Sesungguhnya kamu tidak akan mendapatkan apa-apa, hingga melakukan pekerjaan untuk mengharapkan ridha Allah, kecuali bertambahnya kebaikan, derajat dan kedudukan.” (H.R Ahmad)
2. Ada izin wali. Bila wanita belum menikah, tentu izin ayah atau saudara lelakinya, dan jika sudah maka izin suami sangat diperlukan. Islam sudah menggariskan batasan hubungan antara anak perempuan dengan walinya, hak dan kewajiban suami istri.
Hegemoni pria atas wanita bukan berarti membuat kedudukan wanita berkurang, Karena hegemoni tersebut berdasarkan pada pembagian peran pada suami istri dalam keluarga agar harmonis, penuh cinta dan kasih sayang.
3. Menjaga hak-hak dalam keluarga. Hati-hati jika wanita bekerja dengan sedemikian kerasnya, sampai melalaikan hak-hak keluarga yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya.
Rasululah bersabda: “Wanita bertanggungjawab terhadap rumah suami dan anaknya” (H.R Al-Bukhari).
Sebenarnya dalam Islam, idealnya wanita sudah terpenuhi segala kebutuhan lahir dan batiniahnya oleh ayahnya, saudara laki-lakinya (bila belum menikah) atau suaminya. Namun jika terpaksa atau memang panggilan jiwa dan karena keahlian yang dimilikinya membuatnya harus bekerja di luar rumah, maka boleh mengurangi hak-hak keluarga dan kewajibannya sebagai seorang wanita dan istri sebagai pengurus keluarga, anak-anak dan suaminya.
4. Komitmen dalam berpakaian, serius dalam berbicara, berjalan dan bergerak dengan wajar, tidak berkhlawat dengan pria.  Berpegang teguh terhadap moralitas Islam. Wanita berkarier harus mementingkan kejujuran, amanah, toleran dan suka mengalah, menepati janji, tidak menimbun barang dan harta, tidak berlebihan, boros dan berfoya-foya.
5. Pekerjaan sesuai dengan fitrah wanita. Karena pada dasarnya secara anatomi, bentuk tubuh, emosional, kekuatan, keseimbangan dan kemampuan berpikir wanita dan pria memang sudah sunatullah ada perbedaan. Tak selayaknya wanita melakukan pekerjaan lelaki yang menguras tenaga, seperti sopir truk, petinju, buruh kuli bangunan atau pelabuhan, pemasang pemancar, pemeliharaan listrik, perawat hewan buas dan lain sebagainya. Mungkin lebih menjadi seorang guru, pedagang, apoteker, ekonom, dokter, farmasi, dan lain sebagainya.
6. Jika wanita terpaksa bekerja, maka seharusnya menganggap harta yang diupayakan itu adalah bukan mutlak hasil usahanya sendiri, melainkan hanya titipan dari Allah swt semata. 
Seorang muslimah yang berkarier juga harus bisa memandang harta yang dimilikinya sebagai amanahNya yang mana ia hanya sarana bukan tujuan, maka muslimah harus mencari harta secara halal, menunaikan hak Allah dan dilarang merasa sombong dan kuat atas prestasi yang diraihnya karena akan termasuk orang-orang yang dicela Allah seperti firman Allah: “Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku” (Al-Haqqah ayat 28). Untuk itu berhati-hatilah saat mengelola harta agar tidak jatuh dalam kesia-siaan.
7. Jangan sampai pekerjaan itu hanya untuk membunuh waktu, riya, sombong, pamer, dorongan cinta harta, atau propaganda dan suka jika disebut sebagai wanita karier atas nama emansipasi. Jika niat itu baik dan kukuh dan hanya mengharapkan ridha Allah, maka keikhlasan dalam niat bekerja itu akan mendapatkan pertolongan Allah. 
8. Belajar bertawakal setelah berusaha dengan keras mencari rezeki. Bukan perkara mudah untuk melakukan hal demikian setelah usaha. Karena bisa jadi, tak banyak wanita karier dapat ikhlas saat diberi kegagalan dalam setiap usahanya. Tawakal itu terjadi setelah wanita berusaha dengan sebaik-baiknya mendulang rahmat Allah. Tawakal adalah inti sari dari ‘menghadirkan’ Allah dalam setiap langkah.
Semua yang diupayakan dengan sungguh-sungguh dipulangkan kepada Allah apapun hasilnya, dan akan selalu bersyukur atasnya. Sedikit banyak, sukses gagal atau hanya biasa-biasa saja tanpa peningkatan berarti, itu sesungguhnya adalah kehendak Allah, dan tugas manusia hanya bertawakal setelah berusaha, dan sungguhnya itu salah satu bukti ketakwaan seorang hamba pada TuhanNya.
“Seandainya kamu semua bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, maka Allah pasti memberikan rizki kepadamu seperti Allah memberikan rezeki pada burung yang pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang” (HR At Tirmidzi). 
9. Jika wanita terpaksa bekerja, maka ia harus  yakin dengan tingkat kehalalan rezeki yang dikaisnya. Sebab itu akan merupakan rentetan panjang sebuah proses usaha yang berhubungan dengan ketenangan dan kenyamanan. Ucapan bijak dari Abu Sulaiman ad-Darani mengenai hal ini cukup menjadi renungan: “Barang siapa yakin dengan rezekinya, maka kebaikan akhlaknya bertambah, pikiran tenang, hati bahagia dan semakin sedikit godaan dalam shalatnya.”
 “Diantara kebahagiaan seorang anak Adam adalah keridaannya terhadap ketentuan Allah, diantara kesengsaraan anak Adam adalah kebenciannya terhadap ketentuan Allah” (H.R At-Tirmidzi).